BRIPKA SELADI (foto: istimewa) |
MALANG - Brigadir Kepala (Bripka) Seladi (57) anggota Satuan Polisi Lalulintas Polres Malang Kota, yang telah menjadi idola warga Kota Malang ternyata juga sudah menjadi kebanggaan Korps Bhayangkara. Utamanya, karena kejujuran, dan kesederhanaan hidupnya, serta usaha sampingannya sebagai pemulung.
Berangkat dari Markas Polres Malang Kota, sekitar pukul 05.30 WIB, selepas apel pagi bersama. Seladi, mengendarai sepeda onthelnya menuju titik tempatnya bertugas, mengatur semerawutnya lalulintas jalanan kota pendidikan ini di pagi hari. Setelah selesai mengatur lalulintas, selama dua jam. Pria yang setahun lagi memasuki masa pensiun tersebut, menuju ke kantornya di Jalan DR Wahidin, untuk menjalankan tugas menguji peserta ujian praktik SIM A.
“Setiap hari, saya naik sepeda ini untuk menjalankan tugas,” ujarnya polos. Pria ini, tampilannya begitu sederhana. Badannya masih nampak kekar, menunjukkan kerja kerasnya yang dijalani selama ini. Tidak pernah ada keluhan sedikitpun yang keluar dari mulutnya, tentang kondisi hidup serba sederhana sebagai anggota polisi. Tidak secuilpun, uang suap yang diberikan para peserta ujian SIM A, diterimanya. Apabila ada yang tidak lulus tes, dia memilih untuk mengajari peserta tes tersebut, agar saat kembali mengikuti ujian tes bisa lulus tanpa menyuap.
“Saya pernah diajak minum kopi sama mereka peserta tes, tapi saya menolaknya secara halus, karena meski hanya segelas kopi pastinya sudah menjadi suap dan beban untuk saya,” ungkapnya.
Suami dari Ngatiani tersebut, hingga saat ini juga masih tinggal menumpang di rumah mertuanya, yang ada di Jalan Gadang VI, No44, Kecamatan Sukun, Kota Malang. Jauh sebelum menjadi pemulung sampah, Seladi memang selalu berwirausaha, untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.
Wirausaha mandiri secara kecil-kecilan, menjadi pilihannya, agar tidak memanfaatkan seragam dan pangkat polisinya. Seladi, masuk menjadi anggota Korps Bhayangkara, sejak tahun 1978, dengan pangkat Bhayangkara Dua (Barada), atau prajurit tamtama di Polri. Menyadari gaji awalnya sebagai polisi, hanya Rp14.500/bulan, dia memilih membuka usaha penjualan bensin eceran. Tetapi, akhirnya usaha itu ditutupnya pada tahun 1982, karena terbakar. “Saat itu saya bertugas menjaga pengamanan Pemilu. Saya tidak bisa menjaga sendiri kios bensin eceran itu, ternyata saya pulang kerja sudah terbakar,” kenangnya, dengan penuh keikhlasan.
Pada 1982, dia mulai membuka usaha jual kredit sepatu, mebel, dan barang-barang elektronik. Modal usaha ini didapatkan dari kredit koperasi, sebesar Rp50 juta. Saat usahanya lancar, cobaan tiba-tiba datang. Pegawai sales yang bekerja padanya, membawa lari semua hasil usahanya. Akhirnya dia mengalami kebangkrutan senilai Rp125 juta.
Kebangkrutan itu, membawanya mengalami kesulitan keuangan. Bahkan, gajinya sampai minus. Kondisi serba sulit itu, tidak membuatnya melacurkan diri dengan menerima suap. Pendiriannya tetap kuat, untuk menjaga integritas Satuan Polisi Lalulintas Polres Malang Kota.
Pada awal sebagai polisi gajinya hanya Rp14.500/bulan. Saat ini, sudah mencapai sekitar Rp5,7 juta/bulan. Tetapi, gajinya banyak dihabiskan untuk mengembalikan pinjaman tersebut. “Pinjaman di koperasi masih menyisakan 20 kali angsuran, sementara yang di bank bulan ini sudah bisa lunas, berkat usaha sampingan sampah yang menjadi berkah buat saya dan keluarga,” ujarnya tulus.
Kejujuran, kesederhanaan, dan ketekunannya menjadi pemulung sebagai usaha sampingan di luar jam dinas, membuat Kepala Polres Malang Kota AKBP Decky Hendarsono, bangga memiliki anggota yang ulet, dan anti suap. Baginya, yang dilakukan Seladi, merupakan contoh dan teladan yang baik bagi seluruh anggota Polri. “Saya tidak mau memiliki anggota yang juga memiliki usaha menjadi pemulung. Profesi itu juga sangat mulia, dan menghasilkan uang halal. Saya lebih malu kalau anggota saya terlibat kejahatan dan kriminalitas,” tegasnya. Selain jujur, Brigadir Kepala (Bripka) Seladi (57), anggota Satuan Polisi Lalu Lintas Polres Malang Kota, juga dikenal sebagai sosok yang suka membantu orang lain dan pemulung lainnya.
Hal itu diungkapkan Yani (45), pemulung yang ikut bekerja di tempat penampungan milik Bripka Seladi. Janda yang harus menghidupi tiga anak tersebut mengaku awalnya tidak tahu Seladi merupakan anggota polisi.
"Awalnya saya pikir orang biasa. Baru tahu kalau polisi, setelah ada temannya datang ke sini pakai seragam polisi," ungkapnya.
Baginya, Seladi merupakan sosok panutan yang sangat baik karena sangat suka membantu orang lain. Setiap hari, dia bekerja di tempat penampungan tersebut, mulai pagi hingga sore hari. "Sehari kalau dapatnya Rp35 ribu, sama bapak pasti dibayar jadi Rp40 ribu. Kalau dapatnya Rp75 ribu, sama bapak ditambahi jadi Rp80 ribu," ujarnya, semringah. (SN/Yus/Pnews/Alam)
“Setiap hari, saya naik sepeda ini untuk menjalankan tugas,” ujarnya polos. Pria ini, tampilannya begitu sederhana. Badannya masih nampak kekar, menunjukkan kerja kerasnya yang dijalani selama ini. Tidak pernah ada keluhan sedikitpun yang keluar dari mulutnya, tentang kondisi hidup serba sederhana sebagai anggota polisi. Tidak secuilpun, uang suap yang diberikan para peserta ujian SIM A, diterimanya. Apabila ada yang tidak lulus tes, dia memilih untuk mengajari peserta tes tersebut, agar saat kembali mengikuti ujian tes bisa lulus tanpa menyuap.
“Saya pernah diajak minum kopi sama mereka peserta tes, tapi saya menolaknya secara halus, karena meski hanya segelas kopi pastinya sudah menjadi suap dan beban untuk saya,” ungkapnya.
Suami dari Ngatiani tersebut, hingga saat ini juga masih tinggal menumpang di rumah mertuanya, yang ada di Jalan Gadang VI, No44, Kecamatan Sukun, Kota Malang. Jauh sebelum menjadi pemulung sampah, Seladi memang selalu berwirausaha, untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.
Wirausaha mandiri secara kecil-kecilan, menjadi pilihannya, agar tidak memanfaatkan seragam dan pangkat polisinya. Seladi, masuk menjadi anggota Korps Bhayangkara, sejak tahun 1978, dengan pangkat Bhayangkara Dua (Barada), atau prajurit tamtama di Polri. Menyadari gaji awalnya sebagai polisi, hanya Rp14.500/bulan, dia memilih membuka usaha penjualan bensin eceran. Tetapi, akhirnya usaha itu ditutupnya pada tahun 1982, karena terbakar. “Saat itu saya bertugas menjaga pengamanan Pemilu. Saya tidak bisa menjaga sendiri kios bensin eceran itu, ternyata saya pulang kerja sudah terbakar,” kenangnya, dengan penuh keikhlasan.
Pada 1982, dia mulai membuka usaha jual kredit sepatu, mebel, dan barang-barang elektronik. Modal usaha ini didapatkan dari kredit koperasi, sebesar Rp50 juta. Saat usahanya lancar, cobaan tiba-tiba datang. Pegawai sales yang bekerja padanya, membawa lari semua hasil usahanya. Akhirnya dia mengalami kebangkrutan senilai Rp125 juta.
Kebangkrutan itu, membawanya mengalami kesulitan keuangan. Bahkan, gajinya sampai minus. Kondisi serba sulit itu, tidak membuatnya melacurkan diri dengan menerima suap. Pendiriannya tetap kuat, untuk menjaga integritas Satuan Polisi Lalulintas Polres Malang Kota.
Pada awal sebagai polisi gajinya hanya Rp14.500/bulan. Saat ini, sudah mencapai sekitar Rp5,7 juta/bulan. Tetapi, gajinya banyak dihabiskan untuk mengembalikan pinjaman tersebut. “Pinjaman di koperasi masih menyisakan 20 kali angsuran, sementara yang di bank bulan ini sudah bisa lunas, berkat usaha sampingan sampah yang menjadi berkah buat saya dan keluarga,” ujarnya tulus.
Kejujuran, kesederhanaan, dan ketekunannya menjadi pemulung sebagai usaha sampingan di luar jam dinas, membuat Kepala Polres Malang Kota AKBP Decky Hendarsono, bangga memiliki anggota yang ulet, dan anti suap. Baginya, yang dilakukan Seladi, merupakan contoh dan teladan yang baik bagi seluruh anggota Polri. “Saya tidak mau memiliki anggota yang juga memiliki usaha menjadi pemulung. Profesi itu juga sangat mulia, dan menghasilkan uang halal. Saya lebih malu kalau anggota saya terlibat kejahatan dan kriminalitas,” tegasnya. Selain jujur, Brigadir Kepala (Bripka) Seladi (57), anggota Satuan Polisi Lalu Lintas Polres Malang Kota, juga dikenal sebagai sosok yang suka membantu orang lain dan pemulung lainnya.
Hal itu diungkapkan Yani (45), pemulung yang ikut bekerja di tempat penampungan milik Bripka Seladi. Janda yang harus menghidupi tiga anak tersebut mengaku awalnya tidak tahu Seladi merupakan anggota polisi.
"Awalnya saya pikir orang biasa. Baru tahu kalau polisi, setelah ada temannya datang ke sini pakai seragam polisi," ungkapnya.
Baginya, Seladi merupakan sosok panutan yang sangat baik karena sangat suka membantu orang lain. Setiap hari, dia bekerja di tempat penampungan tersebut, mulai pagi hingga sore hari. "Sehari kalau dapatnya Rp35 ribu, sama bapak pasti dibayar jadi Rp40 ribu. Kalau dapatnya Rp75 ribu, sama bapak ditambahi jadi Rp80 ribu," ujarnya, semringah. (SN/Yus/Pnews/Alam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar