foto : istimewa |
JAKARTA - Menteri Dalam Negeri (Mendagri)
Tjahjo Kumolo sempat mewacanakan akan mencabut peraturan daerah (perda) yang
berkaitan dengan larangan minuman keras (miras). Pencabutan perda larangan
miras dianggap menghambat iklim investasi di daerah.
Menanggapi hal itu, Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PPP Arwani Thomafi mengkritisi wacana tersebut. Arwani khawatir pencabutan perda miras akan menimbulkan dampak terhadap kehidupan masyarakat.
Misalnya, memicu kenaikan tingkat kriminalitas seperti kasus kasus pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap anak. "Sangat tidak beralasan jika demi kepentingan investasi justru kepentingan masyarakat umum, yaitu mencegah bahaya buruk dan jatuhnya korban jiwa akibat miras justru diabaikan," kata Arwani melalui siaran pers kepada wartawan, Minggu(22/5/2016).
Menanggapi hal itu, Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PPP Arwani Thomafi mengkritisi wacana tersebut. Arwani khawatir pencabutan perda miras akan menimbulkan dampak terhadap kehidupan masyarakat.
Misalnya, memicu kenaikan tingkat kriminalitas seperti kasus kasus pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap anak. "Sangat tidak beralasan jika demi kepentingan investasi justru kepentingan masyarakat umum, yaitu mencegah bahaya buruk dan jatuhnya korban jiwa akibat miras justru diabaikan," kata Arwani melalui siaran pers kepada wartawan, Minggu(22/5/2016).
Menurut dia, sebaiknya Mendagri menunggu pembahasan Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol (RUU LMB) yang saat ini dibahas oleh Panitia Khusus DPR.
"Saat ini Pansus RUU Larangan Minuman Beralkohol memasuki Pembahasan di tingkat Panitia Kerja (Panja)," ujar Arwani.
Arwani yang juga Ketua Pansus RUU LMB ini menjelaskan sejumlah hal terkait RUU LMB. Pertama, dalam pembahasan RUU itu berkembang sejumlah pemikiran seperti semangat untuk mendorong pelarangan itu tanpa pengeculian alias melarang secara total.
Kedua, adapula semangat untuk mendorong pelarangan ini dengan pengecualian. "Fakta bahwa ada kelompok tertentu yang masih bersahabat dengan alkohol diakomodasi dengan kata pengecualian. Misalnya ritual keagamaan dan kepentingan pariwisata secara terbatas. Kelompok yang kedua ini seperti yang ada dalam draf RUU usulan DPR," ungkapnya.
Berikutnya, masih dalam kelompok yang mendorong larangan dengan pengecualian yang menyatakan minuman beralkohol tidak perlu dilarang, namun hanya perlu dilakukan pengendalian atau pengaturannya saja.
"Pemikiran ini paradoks dengan kelompok yang kedua, yaitu melarang dengan pengecualian. Sebaliknya, kelompok ini membolehkan dengan pengecualian," tuturnya. (sindo/dam/pnews)