MANGUPURA- Usai Kejaksaan Negeri (Kejari) Denpasar melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Raja Denpasar, Cokorda Samirana yang bergelar Ngurah Jambe Pemecutan pada Jumat (20/5/2016) pagi sekitar pukul 07.00 Wita. Cokorda Samirana pun digiring ke Lapas Kerobokan. Tanpa menunggu lama, Cok Samirana langsung dimasukkan ke ruang tahanan.
Kalapas Kerobokan, Slamet Prihantara menjelaskan Cok Samirana berada di Blok Tirtha Gangga. “Terhadap beliau, karena sudah incracht keputusan dari Mahkamah Agung. Jadi beliau ditaruh di blok narapidana, diisolasi di sana. Bersama narapidana 9 orang narapidana umum lainnya dalam bangsal yang sama,” jelas Slamet.
Cokorda Samirana ditahan setelah selama setahun masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) Kejari. Ia ditahan dalam kasus penipuan yang mengakibatkan korban bernama Lely. Dijelaskan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Denpasar, Emmanuel Zebua, S.H, terpidana ditangkap di Bandara Ngurah Rai oleh petugas Kejari Denpasar yang bekerjasama dengan Polresta Denpasar.
"Terpidana diamankan saat turun dari pesawat. Sudah jadi DPO selama setahun lalu atas kasus penipuan, sehingga korban dirugikan hingga Rp. 7,6 milyar," ujar Zebua ketika ditemui di Kejaksaan Tinggi Denpasar, Bali, Jumat (20/5/2016) siang.
Usai diamankan, Cokorda Samirana langsung digiring ke Lapas Kerobokan untuk menjalani masa penahanan.
"Dari putusan Mahkamah Agung, terpidana dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara," pungkas Zebua.
Seperti diberitakan sebelumnya, Cok Samirana pada saat di sidang berhadapan dengan tim jaksa penuntut umum (JPU) Putu Supartha Jaya dan I Ketut Terima.
Di dalam dakwaan yang dibacakan jaksa di depan majelis hakim pimpinan Jhon Tony Hutauruk, kasus dugaan penipuan dan penggelapan tersebut berawal pada tahun 2006 silam. Ketika itu, korban Lely berniat membeli tanah dan akhirnya diperkenalkan dengan Cok Samirana yang berniat menjual tanah seluas sekitar 10 hektar di Jalan Badak Agung, Denpasar, Renon. Harga tanah yang ditawarkan oleh Cok Samirana adalah Rp 75 juta per are. Kemudian, Lely pun sepakat untuk membeli tanah tersebut sesuai dengan harga yang ditetapkan tadi, Rp 75 juta per are. Uang muka yang akan dibayarkan Lely sebesar Rp15 miliar dan pembayaran dilakukan dalam tiga tahap. Saat Lely akan melakukan pembayaran tahap kedua sebesar Rp 7,6 miliar, Lely minta kepada Cok Samirana agar diperlihatkan sertifikat tanah yang asli. Saat itu, Cok Samirana berjanji akan segera menunjukkan sertifikat tanah tersebut. Lantas, Lely pun datang ke notaris Gusti Ngurah Oka untuk melunasi uang muka sebesar Rp 15 miliar. Namun dari pihak penjual (Samirana) tidak bisa memperlihatkan sertifikat tanah yang asli.
“Saat membuat perjanjian hanya diperlihatkan fotokopi sertifikat saja,” ujar jaksa.
Berikutnya, pada November 2006, justru muncul surat pemblokiran tanah dari keluarga Puri Satria. Inti surat tersebut adalah tanah di Badak Agung tersebut adalah tanah Puri Satria dan jangan sampai dipindahtangankan. Setelah mendapatkan surat tersebut, Lely langsung bertemu dengan Cok Samirana dan yang bersangkutan bersikeras bahwa tanah tersebut sudah miliknya karena dia adalah raja. Kemudian, pada Januari 2009 silam, Lely melaporkan Cok Samirana ke Polda Bali. Menurut pengakuannya, dia sudah dirugikan secara materi sampai Rp 7,6 miliar.
Oleh jaksa, Cok Samirana bakal dijerat dengan pasal 372 tentang penggelapan dan 378 KUHP tentang penipuan. Ancamannya adalah pidana penjara selama 4 tahun. Pada tahun 2009 silam Cok Samirana sempat menggugat korban Lely secara perdata di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar dengan tuduhan wanprestasi. Alasannya, Lely berniat membatalkan pembelian tanah. Namun gugatan tersebut kemudian ditolak, bahkan keputusan itu juga diperkuat hingga tingkat kasasi. (tbb/ahm/pnews/alam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar