Arief Poyuono (foto: istimewa) |
Di antaranya, daya beli masyarakat menurun dan banyak pemutusan hubungan kerja (PHK). ‘’Dampak paling buruk kalau rupiah makin melemah adalah krisis ekonomi. Bisa seperti 1997, karena awal kerusuhan 1998 dimulai krisis moneter, disusul krisis ekonomi, dan puncaknya pada krisis politik,’’ tegas dia, kemarin.
Arief memerinci prediksinya dari realisasi penerimaan negara yang sampai kuartal I-2016 sebesar Rp 247,6 triliun atau 13,6% dari target dalam APBN 2016 senilai Rp 1.822,5 triliun. Realisasi tersebut, menurut dia, jauh lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, yakni Rp 284 triliun atau 16,1% dari target Rp 1.761,6 triliun.
Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro mengakui pendapatan negara lebih rendah saat rapat kerja dengan Komisi XI di Gedung DPR, Jakarta, Senin lalu. Meliputi penerimaan perpajakan Rp 204,7 triliun atau 13,2% dari target dan penerimaan negara bukan pajak Rp 42,8 triliun atau 15,6% target, sedangkan sisanya hibah. Realisasi belanja negara Rp 390,9 triliun atau 18,7% dari target Rp 2.095,7 triliun. Realisasi itu lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu Rp 367,7 triliun atau 18,5% dari target Rp 1.984,1 triliun. Belanja lebih tinggi seiring dengan realisasi program yang lebih cepat.
Belanja meliputi belanja pemerintah pusat Rp 193,5 triliun atau 14,6% dari pagu serta transfer ke daerah dan dana desa Rp 197,4 triliun. Dengan demikian, defisit anggaran pada kuartal I-2016 adalah 1,13% terhadap PDB atau setara dengan Rp 143,3 triliun. Dalam APBN, defisit anggaran dipatok 2,15% terhadap PDB.
Utang Luar Negeri
‘’Cadangan devisa 107 miliar dolar AS bisa untuk impor dan membayar angsuran utang luar negeri beserta bunga serta dendanya selama 7,7 bulan,’’ tutur Bambang.
Juni dan Juli ini, kata Arief Poyuono, utang luar negeri pemerintah dan swasta jatuh tempo sehingga untuk membayar pokok, bunga, dan dendanya pasti butuh dolar AS. Pada dua bulan itu, lanjut dia, kebutuhan produk pangan antara lain beras, gula, serta BBM akan meningkat, berarti impor naik dan butuh dolar AS.
Bank Indonesia (BI) menyatakan defisit transaksi berjalan pada triwulan I-2016 tercatat 2,1% PDB, lebih rendah dari triwulan IV-2015 sebesar 2,4% PDB. Penurunan terutama didorong oleh surplus neraca perdagangan nonmigas yang meningkat akibat impor berkurang sejalan dengan permintaan domestik yang masih terbatas.
Arief menyebutkan meskipun ekspor nonmigas secara keseluruhan turun, kinerja ekspor beberapa komoditas nonmigas mulai menunjukkan perbaikan. Di sisi lain, neraca perdagangan Indonesia pada April 2016 surplus 0, 67 miliar dolar AS. Neraca perdagangan yang membaik berimbas pada defisit transaksi berjalan.
Transaksi modal dan finansial pada triwulan I-2016 surplus seiring dengan pelonggaran kebijakan moneter yang berlanjut di negara-negara maju serta perbaikan prospek ekonomi domestik. ‘’Sialnya, modal yang masuk untuk investasi lur negeri langsung baru pada modal untuk set up kantor dan biaya entertain pada pejabat Indonesia,’’ungkap dia.
Modal yang masuk lebih banyak didapat dari penerbitan surat utang dan obligasi negara, itu pun diskontonya 20% dengan bunga 9%.‘’Tunggu saja awal Juni, The Fed akan naikkan suku bunga, dolar AS pulang kampung,’’ jelas dia.(sm/di-29/pnews)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar